Saturday, August 24, 2013

Menuliskan Kembali Dongeng (2)

Kegiatan Belajar 2

Uraian

Apakah kamu sering mengalami kesulitan untuk memahami isi dongeng? Jika kamu sering merasa kesulitan untuk memahami isi dongeng, hal ini terjadi karena kamu kurang berlatih cara memahami isi bacaan atau dongeng. 

         Setiap bacaan atau dongeng terdiri atas paragraf-paragraf. Paragraf terdiri atas satu gagasan utama atau ide pokok dan beberapa gagasan penjelas atau ide penjelas. Menemukan ide pokok paragraf merupakan suatu kewajiban bagi pembaca ketika mencoba menambah wawasan pengetahuannya melalui bacaan. Keterampilan menemukan ide pokok bisa dilatih dan dikembangkan secara teratur dan berkesinambungan sehingga menangkap secara tepat, akurat, dan cermat inti bacaan atau informasi yang diterimanya. 

        Menemukan inti atau ide pokok bisa disiasati dengan caramengenal tipe paragraf, berdasarkan pola penalarannya. Paragraf bisa berbentuk tipe deduktif dan induktif. Pola penalaran deduktif merupakan cara berpikir yang dimulai dengan rumusan pernyataan umum. Biasanya ditempatkan di awal paragraf, sedangkan kalimat-kalimat berikutnya merupakan kalimat-kalimat penjelas. Pola penalaran induktif merupakan pola berpikir dengan menggunakan peristiwa atau hal-hal khusus untuk menarik kesimpulan umum. Bila kita memenukan gagasan pokok berdasarkan pola penalarannya, ide pokok terdapat di kalimat awal atau di akhir paragraf. Yang sering membuat pembaca bingung menentukan ide pokok adalah bila paragraf yang dibacanya bertipe naratif atau deskriptif. Ide pokok paragraf biasanya terjabarkan secara merata berkesinambungan dalam semua kalimat paragraf tersebut. Oleh sebab itu, pembaca harus pandai menemukan kata-kata kunci keywords paragraf itu. Oleh karena itu, kepandaian menemukan ide pokok bisa ditingkatkan dan dilatih dengan cara membiasakan dan meningkatkan terus kemampuan membaca.
Agar pemahaman materi kamu lebih banyak, silahkan klik:



Setelah kamu dapat menentukan ide pokok dari teks dongeng yang dibaca, langkah selanjutnya adalah merangkaikan ide-ide pokok tersebut menjadi dongeng.
Cara yang ditempuh agar dapat merangkai ide-ide pokok tersebut, adalah:
1. Urutan ide harus sesuai cerita asli, tidak boleh tertukar atau melompat-lompat karena keliru.
2. Ketepatan peristiwa atau kejadian, termasuk nama tokoh, latar tempat maupun waktu.
3. Alur cerita sesuai dengan aslinya.

Mudah, kan? Cobalah berlatih

Latihan

Bacalah dongeng berikut!
                                                   Hikayat Bunga Kemuning

Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka.          Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning. Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya, ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.          Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. “Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja. “Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon. “Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya. “Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya. “Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lamakemudian, raja pun pergi.        Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman istana.        Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,” kata seorang di antaranya. “Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya. “Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah. “Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang.        Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih. Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya. “Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut. “Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya. Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri. “Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut mereka. “Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal.       “Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!” teriaknya.       Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.       Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!” kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan. 
Sumber: http://dongeng.org/dongeng/hikayat-bunga-kemuning.html





Bacalah dongeng dengan seksama!

      Dahulu, di daerah Sumidang, Sumatera Selatan, ada seorang pangeran bernama Serunting. Ia adalah anak keturunan raksasa yang namanya Putri Tenggang. Suatu hari, Pangeran Serunting mempersunting seorang gadis desa bernama Sitti. Setelah menikah, ia mengajak istrinya untuk tinggal di istana. Namun, Sitti bingung. Di satu sisi, ia tidak ingin berpisah dengan adik laki-lakinya yang bernama Aria Tebing, tapi di sisi lain ia harus patuh pada suaminya.
     “Dinda tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kanda. Dinda tidak tega jika harus meninggalkan Aria Tebing, adik Dinda satu-satunya,” kata Sitti kepada suaminya.
“Kalau begitu, bagaimana jika Aria Tebing kita ajak untuk tinggal bersama di istana?” usul Pangeran Serunting.
      Sitti pun menerima saran tersebut. Namun, ketika hal itu disampaikan kepada Aria Tebing, adiknya itu justru menolak. Ia lebih senang hidup bebas di desa daripada tinggal di istana yang penuh dengan aturan. Akhirnya, Sitti dan Aria Tebing bermufakat untuk membagi dua kebun warisan dari orangtua mereka. Kebun yang menjadi bagian Sitti secara tidak langsung juga sudah menjadi milik Pangeran Serunting. Agar tidak terjadi perselisihan di antara mereka, Pangeran Serunting pun menyarankan agar kebun mereka diberi pembatas.
“Lebih baik di tengah-tengah ladang itu diberi pembatas agar kelak tidak terjadi perselisihan di antara kita,” ujar Pangeran Serunting.
“Saran yang bagus, Kanda,” kata Aria Tebing.
      Keesokan harinya, Aria Tebing bersama Serunting berangkat ke kebun itu dengan membawa sebatang kayu pembatas. Setiba di sana, kayu pembatas itu mereka tanam dalam-dalam di tengah ladang. 
     Beberapa hari kemudian, pada kayu pembatas itu tumbuh tanaman cendawan atau jamur. Namun, cendawan yang tumbuh pada batang kayu itu jauh berbeda. Cendawan yang mengarah ke kebun Serunting hanya cendawan biasa, sedangkan cendawan yang mengarah ke kebun Aria Tebing berupa cendawan emas. Aria Tebing pun menjual cendawan emas tersebut dan ia menjadi kaya raya. Rupanya, Serunting iri hati melihat nasib baik dialami oleh adik iparnya itu.
      Suatu hari, Serunting mendatangi Aria Tebing yang sedang memetik jamur emas di ladangnya. Ia sudah tidak kuat menahan perasaan iri yang menyelimuti hatinya.
“Hai, Aria Tebing! Apa yang kau lakukan terhadap tanaman cendawanku?” tanya Pangeran Serunting.
“Apa maksud, Kanda? Aku tidak melakukan apa-apa terhadap cendawan Kanda,” jawab Aria Tebing dengan heran.
“Ah, bohong kamu! Pasti kamu telah berbuat curang kepadaku,” tuduh Pangeran Serunting, “Engkau telah membalik kayu pembatas itu sehingga cendawan emas itu mengarah ke ladangmu!”
Aria Tebing semakin bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia merasa tidak pernah membalik kayu pembatas itu. Cendawan emas itu tumbuh dengan sendirinya. Meskipun ia sudah meminta maaf dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya, Pangeran Serunting tidak mau terima. Bahkan, ia menantang Aria Tebing untuk berkelahi.
“Hai, Aria Tebing. Kamu tidak usah banyak alasan. Jika kamu berani, lawan aku! Aku menantangmu!” tantang Pangeran Serunting.
Aria Tebing bingung untuk menjawab tantangan itu. Ia menyadari bahwa dirinya tidak akan mungkin mampu menghadapi kakak iparnya sakti mandraguna itu. Tapi, jika ia menolak tantangan itu, Pangeran Serunting pasti akan membunuhnya.
“Baiklah, Kanda. Aku akan terima tantangan Kanda, tapi berilah aku waktu 2 hari untuk berpikir!” pinta Aria Tebing.
“Baik, kalau itu maumu. Jika perlu, latihlah kemampuanmu sebelum waktu itu tiba!” seru Pangeran Serunting dengan nada melecehkan.
Sejak itu, Aria Tebing sulit memejamkan matanya. Ia bingung mencari cara agar bisa mengalahkan Pangeran Serunting. Sehari sebelum pertarungan itu dimulai, ia akhirnya menemukan jalan keluarnya.
“Ahhaaa... aku tahu caranya sekarang,” gumam Aria Tebing. “Kak Sitti pasti tahu kelemahan Pangeran Serunting.” 
Aria Tebing menemui kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian meminta kepada kakaknya agar mau memberitahu kelemahan Pangeran Serunting.
“Kak Sitti, tolong kasih tahu aku mengenai kelemahan Pangeran Serunting!” bujuk Aria Tebing, “Kalau tidak, ia pasti akan membunuhku.”
Sitti tidak menjawab. Hatinya sedang bingung. Ia tidak ingin adiknya mati, tapi ia pun tidak mampu mengkhianati suaminya.
“Maafkan aku, adikku. Aku tidak bisa mengkhianati suamiku,” kata Sitti kepada adiknya.
“Tolonglah aku, Kakak,” rengek Aria Tebing, “Jika pun aku mengetahui kelemahan Pangeran Serunting, aku tidak akan membunuhnya, sedangkan ia pasti akan membunuhku. Apakah Kakak rela melihat aku tewas di tangan suami Kakak sendiri?”
Sitti kembali terdiam. Ia tersentuh dengan perkataan adiknya.
“Baiklah, Dik. Aku akan memberitahukannya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak membunuhnya,” ujar Sitti.
“Baik, aku janji. Aku tidak akan membunuhnya,” kata Aria Tebing.
Akhirnya, Sitti pun membocorkan rahasia kelamahan suaminya kepada Aria Tebing.
“Rahasia kesaktian suamiku ada pada rumput ilalang yang selalu bergetar walaupun tidak tertiup angin,” kata Sitti, “Jika kamu menombak rumput ilalang itu, kekuatannya langsung lenyap seketika.” 
“Baik, Kak. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Aria Tebing.
Pada hari yang telah ditentukan, Pangeran Serunting dan Aria Tebing pergi ke sebuah padang ilalang. Setiba di sana, pertarungan pun dimulai. Baru saja pertarungan itu dimulai, Aria Tebing sudah mulai terdesak oleh serangan-serangan kakak iparnya. Hal itu menunjukkan bahwa betapa tingginya kesaktian Pangeran Serunting.
Meskipun demikian, Aria Tebing tidak gentar karena sudah mengetahui kelemahan sang pangeran. Pada saat yang tepat, ia segera menombak ilalang yang bergetar di padang itu. Seketika itu pula, sang Pangeran jatuh tersungkur ke tanah dengan keadaaan luka parah.
Merasa dikhianati oleh istrinya, Pangeran Serunting pergi meninggalkan kampung halamannya menuju ke Gunung Siguntang untuk bertapa. Setiba di sana, tiba-tiba ia mendengar suara gaib dari Sang Hyang Mahameru.
“Hai, anak muda. Maukah engkau mendapatkan kekuatan gaib?” tanya suara itu.
“Saya sangat mau, wahai Sang Hyang Mahameru,” jawab Pangeran Serunting.
“Baiklah, tapi ada syaratnya yaitu engkau harus bertapa di bawah pohon bambu hingga daun bambu itu menutupi seluruh tubuhmu,” kata Sang Hyang Mahameru.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Serunting segera menyanggupi persyaratan itu. Setelah itu, ia langsung memulai tapanya dengan penuh konsentrasi. Segala bentuk kehidupan dunia telah lenyap dalam pikiran dan ingatannya. Rasa lapar dan dahaga pun tidak dirasakannya lagi. Semakin lama ia semakin larut dalam tapanya sehingga tak terasa sudah 2 tahun ia bertapa. Saat itu pula, seluruh tubuhnya telah tertutupi daun-daun bambu yang telah berguguran.
Sesuai dengan janjinya, Sang Hyang Mahameru kembali mendatangi Pangeran Serunting.
“Wahai, anak muda. Karena engkau telah berhasil melaksanakan syarat itu dengan baik, maka kini saatnya aku menurunkan ilmu kesaktian kepadamu,” kata Sang Hyang Mahameru.
“Kesaktian apakah itu, wahai Sang Hyang Mahameru?” tanya Pangeran itu penasaran.
“Apa pun yang engkau ucapkan akan berubah menjadi kutukan,” jawab Sang Hyang Mahameru.
Dengan perasaan gembira, Pangeran Serunting segera pulang ke kampung asalnya. Dalam perjalanan pulang, terbersit di pikirannya untuk menjajal kesaktian yang baru diperolehnya itu. Saat menjumpai hamparan pohon tebu di tepi danau, ia berkata: “Jadilah batu, wahai pohon tebu!” serunya.
Berkat kesaktian lidahnya, hamparan pohon tebu itu langsung berubah menjadi batu. Oleh karena itulah, Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah karena kesaktian lidahnya itu. Selanjutnya, Si Pahit Lidah mendapati sebuah bukit yang gersang dan tandus bernama Bukit Serut. Ia kemudian mengubah bukit gersang itu menjadi hutan belantara. Ketika tiba di suatu desa, Si Pahit Lidah memenuhi keinginan sepasang suami istri yang sudah tua untuk memiliki anak. Dengan kesaktian lidahnya, ia mengubah sehelai rambut milik si nenek menjadi seorang bayi laki-laki.
Begitulah seterusnya, di sisa perjalanannya menuju Sumidang, Si Pahit Lidah terus belajar berbuat baik kepada sesama makhluk hidup. Setiba di kampung halamannya, rasa dendamnya kepada Aria Tebing pun hilang sudah seiring dengan perbuatan baiknya di sepanjang perjalanan. Ia pun meminta maaf kepada adik iparnya itu, juga kepada istri tercinta.

0 comments:

Post a Comment